Panglima TNI Pastikan Revisi UU TNI Tak Goyahkan Supremasi Sipil

Jakarta – Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak akan mengganggu prinsip supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pernyataan ini merespons berbagai kritik yang mengkhawatirkan adanya penguatan peran militer dalam ranah sipil melalui revisi tersebut.

Dalam keterangannya kepada media, Jenderal Agus menegaskan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk menyesuaikan peran dan tugas TNI dengan perkembangan zaman, bukan untuk mengintervensi ranah sipil atau mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di masa lalu.

“Kami ingin meluruskan bahwa revisi ini bukan untuk melemahkan supremasi sipil, melainkan untuk menyesuaikan aturan agar lebih relevan dengan kebutuhan pertahanan negara,” kata Panglima TNI saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/3).

Isu Krusial dalam Revisi UU TNI

Beberapa poin dalam revisi UU TNI yang menjadi sorotan publik antara lain:

  1. Perluasan Peran TNI dalam Urusan Sipil
    Salah satu pasal yang banyak diperdebatkan adalah kemungkinan keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil di berbagai instansi pemerintahan. Kritikus menilai hal ini berpotensi menimbulkan tumpang-tindih antara ranah militer dan sipil, meski TNI menyatakan bahwa pengaturan ini bertujuan untuk optimalisasi sumber daya pertahanan nasional.
  2. Kebijakan Kesejahteraan Prajurit
    Dalam revisi ini, TNI juga mengusulkan perbaikan sistem kesejahteraan prajurit, termasuk peningkatan anggaran untuk tunjangan dan jaminan sosial bagi personel aktif maupun purnawirawan.
  3. Modernisasi Alutsista dan Kesiapan Tempur
    UU yang direvisi akan memberikan dasar hukum lebih kuat bagi program modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista), yang dinilai penting dalam menghadapi dinamika geopolitik dan ancaman keamanan regional.

Tanggapan Pemerintah dan DPR

Menanggapi revisi ini, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan bahwa pemerintah mendukung penguatan institusi pertahanan dengan tetap menjaga keseimbangan antara militer dan supremasi sipil.

“Revisi ini harus tetap mengedepankan prinsip profesionalisme TNI dan tidak boleh melanggar konstitusi. Kami akan memastikan bahwa TNI tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara,” ujar Prabowo.

Di sisi lain, beberapa fraksi di DPR meminta agar revisi UU TNI dikaji lebih mendalam agar tidak bertentangan dengan semangat reformasi yang telah berjalan sejak 1998. Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, menyatakan bahwa pihaknya akan menggelar serangkaian diskusi publik guna menyerap aspirasi masyarakat terkait revisi ini.

“Kami ingin memastikan bahwa revisi ini tidak mengarah pada militerisasi ranah sipil, dan tetap menghormati prinsip demokrasi,” ujar Meutya.

Kekhawatiran dari Masyarakat Sipil

Beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti Imparsial dan KontraS, menyampaikan kekhawatiran bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan kembali peran TNI dalam ranah politik dan pemerintahan sipil.

“Kami tidak ingin ada celah bagi kembalinya dominasi militer di ruang-ruang sipil, sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru,” kata Gufron Mabruri, Direktur Imparsial.

Menurutnya, penguatan peran militer di luar pertahanan negara seharusnya tidak menjadi prioritas, mengingat Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Kesimpulan

Revisi UU TNI menjadi isu yang sensitif di tengah dinamika politik nasional. Panglima TNI menegaskan bahwa revisi ini tetap mempertahankan supremasi sipil, sementara pemerintah dan DPR berjanji akan mengawasi agar tidak ada ketimpangan dalam penerapannya. Namun, kritik dari masyarakat sipil menunjukkan bahwa masih ada kekhawatiran terhadap kemungkinan meningkatnya peran TNI di luar bidang pertahanan.

Dinamika ini menunjukkan bahwa revisi UU TNI harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, sehingga tidak menimbulkan kontroversi yang dapat menghambat jalannya reformasi militer di Indonesia.