Jepang Terapkan Sistem Harga Berbeda, Turis Harus Bayar Lebih Mahal Dibanding Warga Lokal

Tokyo – Jepang tengah menjadi sorotan dunia setelah sejumlah laporan mengungkap penerapan sistem harga diferensial yang membuat wisatawan asing harus membayar lebih mahal dibanding warga lokal. Kebijakan ini sudah mulai diterapkan di beberapa sektor, termasuk tiket masuk tempat wisata, restoran, hingga tarif transportasi.

Fenomena Diskriminasi Harga di Jepang

Beberapa bisnis di Jepang mulai memberlakukan harga berbeda bagi wisatawan asing dan warga lokal, terutama di destinasi wisata populer seperti Kyoto, Tokyo, dan Osaka. Perbedaan harga ini bertujuan untuk mengontrol lonjakan wisatawan serta melindungi masyarakat lokal dari dampak overtourism (ledakan pariwisata yang berlebihan).

Salah satu contoh yang viral adalah tiket masuk ke Kuil Kiyomizudera di Kyoto. Sebelumnya, harga tiket berlaku sama bagi semua pengunjung, tetapi kini turis asing dikenakan biaya 1.500 yen (sekitar Rp150 ribu), sementara warga Jepang hanya membayar 800 yen (sekitar Rp80 ribu).

Hal serupa juga ditemukan di beberapa restoran tradisional dan onsen (pemandian air panas). Beberapa pengelola menetapkan menu dengan harga berbeda untuk turis, yang bisa lebih mahal 10-30% dibandingkan harga untuk warga lokal.

Alasan Penerapan Kebijakan Ini

Menurut sejumlah pakar ekonomi Jepang, kebijakan ini bukan semata-mata bentuk diskriminasi, tetapi lebih kepada strategi untuk mengelola jumlah wisatawan yang terus meningkat setiap tahun.

Profesor Kenji Yamamoto, ahli ekonomi dari Universitas Tokyo, menyebut bahwa overtourism menjadi tantangan serius bagi Jepang, terutama di daerah wisata yang kerap mengalami kepadatan ekstrem.

“Kyoto dan Osaka telah mengalami lonjakan wisatawan yang signifikan pasca-pandemi, membuat fasilitas umum kewalahan. Banyak warga lokal yang merasa terganggu dengan antrian panjang di restoran, keramaian di transportasi umum, serta meningkatnya biaya hidup akibat pariwisata yang tidak terkendali,” ujar Yamamoto.

Selain itu, banyak bisnis di Jepang yang merasa bahwa turis asing memiliki daya beli lebih tinggi dibanding warga lokal. Dengan perbedaan harga ini, mereka berharap dapat meningkatkan pendapatan sekaligus menyeimbangkan kesejahteraan ekonomi penduduk setempat.

Respons Wisatawan Asing

Kebijakan ini menuai beragam reaksi dari wisatawan. Beberapa turis yang datang ke Jepang menganggapnya sebagai hal yang wajar, mengingat negara lain seperti Thailand dan Mesir juga menerapkan sistem harga berbeda bagi wisatawan asing dan warga lokal.

Namun, tidak sedikit yang merasa kecewa dan menganggap kebijakan ini tidak adil. Beberapa wisatawan mengungkapkan ketidakpuasan mereka di media sosial.

“Saya sangat menyukai Jepang, tetapi membayar lebih mahal hanya karena saya turis terasa tidak adil,” tulis seorang pengguna media sosial asal Amerika Serikat di platform X (Twitter).

Sementara itu, wisatawan asal Korea Selatan, Lee Min-seok, menyatakan bahwa ia bisa memahami kebijakan ini selama harganya masih dalam batas wajar.

“Kalau selisihnya hanya sedikit, saya masih bisa menerima. Tapi kalau perbedaannya terlalu besar, mungkin saya akan berpikir ulang untuk kembali ke Jepang,” ujarnya saat diwawancarai di kawasan Shinjuku, Tokyo.

Dampak Jangka Panjang terhadap Pariwisata Jepang

Meski mendapat kritik dari sejumlah pihak, Jepang tampaknya tetap berkomitmen menerapkan sistem harga ini di berbagai sektor pariwisata. Pemerintah Jepang sedang mengkaji apakah kebijakan ini dapat diterapkan secara nasional, terutama di daerah yang mengalami dampak paling besar dari lonjakan turis, seperti Kyoto, Hokkaido, dan Nara.

Beberapa pengamat menilai bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif terhadap citra pariwisata Jepang di mata dunia. Jika tidak diimbangi dengan komunikasi yang baik dan sistem yang transparan, kebijakan ini berisiko menurunkan jumlah kunjungan wisatawan asing di masa mendatang.

Di sisi lain, beberapa ekonom menilai bahwa ini bisa menjadi strategi efektif untuk menarik wisatawan berkualitas yang lebih menghargai budaya lokal dan memiliki kesiapan finansial lebih baik.

“Jepang bukan hanya ingin mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar, tetapi juga ingin memastikan mereka memberikan dampak ekonomi positif tanpa mengganggu kesejahteraan warga lokal,” kata Yamamoto.

Kesimpulan

Penerapan harga berbeda untuk wisatawan asing dan warga lokal di Jepang menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat internasional. Meskipun kebijakan ini didasari oleh kebutuhan untuk mengatur overtourism dan menyeimbangkan ekonomi lokal, tantangan dalam eksekusinya tetap ada.

Apakah kebijakan ini akan membuat wisatawan berpikir ulang untuk mengunjungi Jepang? Atau justru akan menjadi standar baru dalam industri pariwisata global? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.