Dilema Kebijakan Mobil Listrik vs LCGC: Tantangan Menuju Target 1 Juta Unit
Jakarta, 18 Februari 2025 – Pemerintah Indonesia tengah dihadapkan pada dilema kebijakan antara pengembangan mobil listrik (EV) dan Low Cost Green Car (LCGC). Keduanya memiliki peran penting dalam strategi dekarbonisasi sektor otomotif, namun target ambisius produksi dan adopsi kendaraan ramah lingkungan justru menghadapi tantangan besar, termasuk jebakan target 1 juta unit yang belum tercapai.
Sejak 2013, program LCGC telah menjadi motor utama dalam menghadirkan kendaraan hemat energi dan terjangkau bagi masyarakat luas. Namun, seiring meningkatnya fokus pada elektrifikasi kendaraan, mobil listrik mendapatkan prioritas lebih tinggi dalam berbagai insentif. Di sisi lain, industri otomotif masih harus berhadapan dengan tantangan infrastruktur, daya beli masyarakat, dan kesiapan ekosistem kendaraan listrik.
LCGC: Antara Keberlanjutan dan Realitas Pasar
Program LCGC diperkenalkan sebagai solusi untuk menghadirkan mobil yang lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar dengan harga terjangkau. Dengan mesin berkapasitas kecil dan standar emisi lebih ketat, LCGC sempat mengalami pertumbuhan pesat. Namun, sejak tahun 2023, pangsa pasar LCGC mengalami stagnasi akibat lonjakan harga produksi serta peralihan insentif pemerintah ke kendaraan listrik.
Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan LCGC masih mendominasi segmen kendaraan dengan harga di bawah Rp 200 juta, tetapi jumlah produksinya mulai menurun dibandingkan periode sebelumnya. Salah satu penyebab utama adalah meningkatnya harga bahan baku serta kenaikan harga jual kendaraan akibat regulasi emisi Euro 4.
Mobil Listrik: Insentif Besar, Realisasi Masih Lambat
Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mencapai 1 juta unit kendaraan listrik pada tahun 2030. Berbagai insentif telah digelontorkan, termasuk:
- Subsidi pembelian EV hingga Rp 7 juta per unit
- Pembebasan pajak barang mewah (PPnBM) dan insentif PPN 1%
- Pembangunan infrastruktur charging station
Namun, meskipun kebijakan tersebut menggiurkan, adopsi mobil listrik di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala utama:
- Harga yang masih tinggi – Meskipun mendapat subsidi, harga mobil listrik masih berada di kisaran Rp 250 juta ke atas, jauh lebih mahal dibandingkan LCGC.
- Infrastruktur pengisian daya yang terbatas – Pengguna masih kesulitan menemukan charging station di luar kota-kota besar.
- Ketergantungan pada impor baterai – Biaya produksi mobil listrik di Indonesia masih tinggi karena industri baterai lokal belum sepenuhnya berkembang.
Jebakan Target 1 Juta Unit: Antara Realitas dan Harapan
Kebijakan pemerintah saat ini masih terjebak dalam dilema mendukung transisi ke kendaraan listrik atau mempertahankan pasar LCGC. Target 1 juta unit kendaraan listrik terancam sulit tercapai jika tidak diimbangi dengan strategi jangka panjang yang lebih realistis.
Pengamat industri otomotif, Yannes Pasaribu, menyatakan bahwa transisi ke kendaraan listrik harus dilakukan secara bertahap, tanpa mengabaikan realitas ekonomi masyarakat. “Mobil listrik memang masa depan, tetapi LCGC masih menjadi pilihan utama masyarakat menengah ke bawah. Jika insentif terlalu berpihak pada EV, maka pasar otomotif bisa kehilangan keseimbangan,” ujarnya.
Sementara itu, Asosiasi Industri Otomotif Indonesia (AIKI) menyarankan agar pemerintah menerapkan strategi hibrida, yakni tetap mempertahankan LCGC sebagai jembatan menuju elektrifikasi penuh. Model hybrid EV (HEV) juga disebut sebagai solusi sementara sebelum infrastruktur kendaraan listrik benar-benar siap.
Kesimpulan
Kebijakan otomotif nasional saat ini berada dalam persimpangan antara mempertahankan LCGC sebagai kendaraan terjangkau atau mempercepat adopsi mobil listrik dengan berbagai insentif. Tantangan terbesar adalah bagaimana mencapai target 1 juta unit kendaraan ramah lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan industri otomotif secara keseluruhan.
Jika pemerintah tidak segera menemukan keseimbangan antara keduanya, maka transisi menuju era kendaraan listrik bisa berjalan lebih lambat dari yang diharapkan, sementara pasar LCGC terus mengalami tekanan akibat perubahan regulasi.